Perjalanan kali ini sepertinya akan menjadi aktivitas yang mengasyikan. Aktivitas yang lebih mengasyikan dari beberapa aktivitas yang aku laksanakan dihari-hari yang lalu. Begitu juga dengan Dianora. Ia tak henti-hentinya menunjukkan padaku momen apa yang perlu aku abadikan. Seleranya hampir sama dengan seleraku dalam mengambil momen-momen tertentu. Melintasi Jembatan Basirih yang megah membentang menghubungkan 2 bagian kota Banjarmasin yang dipisahkan oleh Sungai Martapura, Dianora menyaksikan suatu pemukiman penduduk yang dibangun pada Zaman kolonialis Belanda. Ia meminta padaku untuk mengabadikannya. Terlihat juga pemandangan beberapa pemukiman yang kelihatannya baru beberapa tahun ini saja dibangun. Rumah-rumah penduduk yang berupa rumah panggung berdiri kokoh disepanjang tepian sungai Sungai Martapura. Pemukiman yang amat mencirikan khas kehidupan suku-suku pantai di Pulau Kalimantan. Atap-atap rumahnya yang terdiri dari berbagai aneka macam bahan tersinari cahaya mentari berwarna keemasan. Nampak seperti lengkung pelangi warna warni penuh kedinamisan warna, kedinamisan hidup. Dari atas atap kelotok yang juga kemilau disinari cahaya mentari, aku mengambil beberapa foto kehidupan masyarakat di pemukiman tersebut. Kehidupan yang bergantung kepada sungai kehidupan yang penuh nilai kesahajaan yang menjauhkan kita semua dari kepenatan hidup ditengah hiruk-pikuk kehidupan keras khas pusat kota yang justru kadang mencerminkan kekumuhan moral, kekumuhan sikap.